Nafsu, berasal dari bahasa Arab ‘Nafs’ yang berarti ‘Jiwa’. Nafsu
manusia, mengalami evolusi tahapan-tahapan yang dinamis. Maksud dari dinamis
disini adalah bahwa jiwa seseorang bisa saja naik dan bisa saja menurun dari
tingkat satu ke tingkat lainnya, berdasarkan perbuatan atau kualitas keimanan
sang pemilik jiwa itu.
Tiap saat dan tiap waktu kita berperang dengan hawa nafsu, apakah
jiwa kita mengikuti hawa nafsu menuju kejelekan, atau mengikuti hati nurani
menuju kebaikan. Peperangan melawan hawa nafsu adalah peperangan yang tiada
habisnya, oleh karena itu disebut dengan Jihad Akbar.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ , قَالَ : " قَدِمَ عَلَى رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْمٌ غُزَاةٌ ، فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : قَدِمْتُمْ خَيْرَ مَقْدَمٍ مِنَ الْجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلَى
الْجِهَادِ الأَكْبَرِ , قَالُوا : وَمَا الْجِهَادُ الأَكْبَرُ ؟ قَالَ : مُجَاهَدَةُ
الْعَبْدِ هَوَاهُ "
" Dari Jabir Ra. Berkata: Datang ke Rasulullah صلى الله عليه وسلم orang-orang yang baru selesai berperang. Lalu Rasulullah Saw. berkata: "Kalian menuju ke tujuan yang terbaik. Kalian menuju dari dari jihad yang lebih kecil ke jihad yang lebih besar. "Mereka bertanya:" Apa itu jihad yang lebih besar? "Nabi menjawab:" Perjuangan seorang hamba melawan hawa nafsunya. " [Hr. Baihaqi] [1]
Hadits di atas ditolak oleh kelompok Wahhabi/Salafy dianggap hadits
dhoif sehingga tidak bisa dijadikan dalil. Oleh karena itu tidak aneh jika
kelompok mereka sangat radikal, suka menyesatkan, mengkafirkan kelompok lain
yang berbeda. Karena mereka bisanya hanya menunjuk dan melihat kesalahan,
kekurangan orang lain. Sedangkan kesalahannya sendiri tidak diperhatikan.
Disinilah letak keutamaan jihad melawan hawa nafsu, jika mereka mau
melakukan jihad dengan hawa nafsunya sendiri, maka mereka tidak bakalan mudah
menyalahkan kelompok lain. Karena membina dan mengatur diri sendiri itu sangat
berat, setiap manusia bertempur dengan dirinya sendiri dalam mencapai ridho Allah.
Padahal hadits tentang jihad melawan hawa nafsu itu banyak, hadits
di atas dikuatkan oleh hadits lain yaitu :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " أَعْدَى عَدُوَّكَ نَفْسُكَ الَّتِي بَيْنَ
جَنْبَيْكَ " .
Dari Ibnu Abbas ra. Berkata: Rasulullah Saw. Bersabda: "Musuhmu yang terbesar, ialah nafsumu yang berada diantara dua lambungmu" . [Imam al-Baihaqi] [2]
Dari Abu Dzar, Nabi Muhammad Saw.bersabda:
أفضلُ الجهادِ أنْ يُجاهِدَ الرجلُ نفسَه وَهَوَاهُ.
“Jihad yang paling utama adalah jihad melawan hawa nafsu.” [3]
Yang menarik adalah al-Bany ulama’ Salafi wahhabi memasukkan hadits di atas tergolong hadits yang shohih (benar) ke dalam kitabnya yaitu al-Jami’u al-Shohih. [4] dengan demikian kedudukan hadits tentang jihad yang paling utama adalah melawan hawa nafsu, haditsnya sangat kuat dan shohih.
Muhammad Bin Ismail dalam Kitab Tanwir Syarah Jamiu al-Shogir,
ketika menjelaskan hadits di atas, bahwa jihad itu ada empat tingkatan: yaitu
jihad melawan syaithon, jihad melawan orang kafir yang memerangi Islam, jihad
melawan munafiqin dan jihad melawan hawa nafsu. [5]
Karakteristis Hawa Nafsu.
Dilihat dari karakteristiknya, menurut Imam al-Ghazali, manusia
memiliki empat macam karakter (Hawa Nafsu), yaitu:
1. Al-Rububiyah; (الربوبية), yaitu sifat “KeTuhanan” yang terdapat
pada diri manusia yang apabila telah menguasai diri manusia maka ia ingin
menguasai, menduduki jabatan yang tinggi, menguasai ilmu apa saja, suka memaksa
orang lain dan tak mau direndahkan, maunya hanya dipuji.
2. Al-Syaithaniyah; (الشيطانية), yaitu sifat “Kesetanan” yang ada pada
diri manusia yang apabila telah menguasai dirinya ia akan suka merekayasa
dengan tipu daya dan meraih segala sesuatu dengan cara-cara yang jahat. Di sini
mansia suka mengajak pada perbuatan bid’ah, kemunafikan dan berbagai kesesatan
lainnya.
3. Al-Bahimiyah; (البهيمية), yaitu sifat manusia berupa “kehewanan”
yang apabila telah menguasai dirinya ia akan rakus, tamak, suka mencuri, makan
berlebihan, tidur berlebihan dan bersetubuh berlebihan, suka berzina,
berprilaku homoseks dan lain sebagainya.
4. Al-Sabu’iyah (السبوعية), yaitu sifat “kebuasan” yang apabila
menguasai diri manusia ia akan suka bermusuhan, berkelahi, suka marah, suka
menyerang, suka memaki, suka berdemo, anarkis, cemburu berlebihan dan lain
sebagainya.
Empat sifat tersebut di atas tidak tumbuh dan berkembang secara
sekaligus tetapi melalui tahapan-tahapan atau secara berangsur-angsur. [6]
Pertama kali yang tumbuh adalah sifat kehewanan “al-bahimiyah”.
Melalui sifat ini manusia suka makan, tidur, seks agar dapat tumbuh sehat.
Selanjutnya yang kedua adalah sifat kebuasan “al-sabu’iyah” atau
yang disebut dengan nafsu ammarah “al-ghadabiyah”. Dengan sifat ini manusia
dapat menolak sesuatu yang dapat megancam dan merugikan dirinya seperti ingin
menyerang, membunuh, memaki, berkelahi dan lain sebagainya.
Yang ketiga yang tumbuh adalah sifat kesetanan “al-syaithaniyah”.
Sifat ini tumbuh pada diri manuia setelah tumbuh sifat kehewanan dan kebuasan.
Bilamana kedua sifat tersebut sudah ada pada diri manausia, maka setelah
manusia mulai bisa berfikir (sekitar 7 tahun), maka berbagai cara akan
dilakukan untuk memenuhi nafsunya. Di sini manusia akan melakukan tipu daya,
makar, rekayasa demi mencapai apa yang diinginkannya.
Yang terakhir tumbuh dan berkembang dalam diri manusia adalah sifat
ketuhanan “al-rububiyah”. Melalui sifat ini manusia ingin menguasai, memiliki
segalanya, ingin berkuasa, menduduki jabatan setinggi-tingginya. Di sini
manusia akan merasa berbangga diri, sombong, ingin dipuji, merasa paling benar
dan lain sebagainya.
Fungsi Akal
Selain memberikan empat sifat atau karakter pada diri manusia,
Allah Swt. juga menganugerahi manusia berupa akal. Fungsi akal ini adalah untuk
mengendalikan keempat karakter (nafsu) tersebut.
Dengan akal, sifat “al-bahimiyah” yang ada pada manusia, akan
dikendalikan untuk hal-hal yang benar, seperti makan dan tidur secara teratur
dan berhubungan seks setelah menempuh pernikahan.
Dengan akal, sifat manusia “al-sabu’iyah” akan dikendalikan menjadi
pemberani, membela kebenaran, menolak kebatilan demi kemaslahatan.
Dengan akal, sifat manusia “al-syaithaniyah” akan dikendalikan
menjadi berhati-hati, waspada, mampu mengadakan penyelidikan, kritis, teliti,
bisa bedakan yang jujur dan bohong.
Dengan akal, sifat manusia “al-rububiyah” akan dikendalikan menjadi
seorang pemimpin, manajer dan pelayan bagi orang lain.
Akal, betapapun berfungsi dan bertujuan mencari kebenaran, ia
memiliki keterbatasan. Untuk meraih kebenaran yang sempurna, Allah memberikan
petunjuk lagi berupa agama.
Dengan agama, manusia akan dapat mengendali kan diri, dapat
terbimbing pada kehidupan yang benar bahkan bisa menjadi seorang manusia yang
bisa menjaga dari hal dosa.
Jika sifat-sifat binatang tersebut dibiarkan dan tidak diperangi
dengan ibadah yang banyak, maka perilaku itu akan membentuk jiwa manusia itu
secara maknawi atau batin adalah menjadi hewan. Akibatnya, jiwanya berubah
menjadi bentuk binatang dalam perilaku, watak, dan kelakuannya. Ada jiwa yang
menjadi bentuk babi, anjing, khimar, ular, kelajengking, atau watak-watak
binatang tersebut. Sufyan ats-Tsauri menafsirkan ayat “Dan tiadalah
binatang-binatang yang ada dalam bumi dan burung-burung yang terbang dengan
kedua sayapnya melankan umat-umat (juga) seperti kamu”. (Al-An’am : 38).
Diantara mereka ada yang memiliki akhlak (perilaku) seperti
binatang buas, juga yang memiliki perilaku anjing, perilaku babi, perilaku
khimar, atau ada juga yang suka menghiasi pakaiannya seperti burung merak, atau
ada juga yang bodoh seperti khimar. Ada yang lebih suka mengutamakan orang lain
atas dirinya seperti ayam jago.
Ada juga yang sangat jinak dan penurut seperti burung dara, ada
juga yang sangat pendendam seperti unta, ada juga yang baik seperti kambing,
dan ada juga yang mirip serigala, dan lainnya”. Jika persamaan watak dan
perilaku ini menguat secara bathin, maka akan nampak wujudnya dalam bentuk
lahir yang mampu dilihat orang yang firasatnya kuat. Allah akan mengubah bentuk
fisiknya dengan bentuk binatang yang perilakuknya diserupai. Sebagaimana apa
yang dilakukan oleh Allah kepada orang Yahudi dan orang yang menyerupai mereka,
di mana mereka dikutuk menjad babi dan anjing. [7]
Sebagai penutup Rasulullah saw. Bersabda:
قال رسول الله (ص): لولا أن الشياطين يحومون على قلوب بني آدم لنظروا إلى
ملكوت السماء
Rasulullah Saw. Bersabda: "Jikalau tidaklah setan-setan itu
mengelilingi hati anak Adam (manusia), niscaya mereka dapat memandang ke alam
malakut yang tinggi. [8 ]
------------------------
------------------------
Daftar Rujukan:
[1] Imam Baihaqi, Zuhdi al-Kabir,
https://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…
Imam Al-Bagdadi, Tarikh al-bagdadi,
https://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…
[2] Imam Baihaqi, Zuhdi al-Kabir,
http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php…
[3] Imam Jalaluddin al-suyuthi, al-Jami’u al-Shogir, bagian Huruf
Alif, Hadits no. 1247, http://www.al-eman.com/
[4] al-Bany, al-Jami’u al-Shohih,
http://islamport.com/d/1/alb/1/16/69.html
[5] Muhammad Bin Ismail, Tanwir Syarkhun al-Jami’u al-Shogir,
http://shamela.ws/browse.php/book-122096/page-1160
[6] Imam al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Juz III, Beirut : Darul
Ma'rifah, tt . hal.119
[7] Muḥammad ibn Abī Bakr Ibn Qayyim al-Jawzīyah, Penawar hati yang
sakit, Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hal 143.
[8] Imam al-Ghozali, Ikhya’ Ulumuddin,
http://shamela.ws/browse.php/book-9472/page-761
0 komentar:
Posting Komentar