Kebanyakan sufi menjadikan taubat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat terendah, taubat menyangkut dosa yang dilakukan jasad atau anggota-anggota badan.
Pada tingkat menengah, di samping menyangkut dosa yang dilakukan jasad, taubat menyangkut pula pangkal dosa-dosa, seperti dengki, sombong, dan riya. Pada tingkat yang lebih tinggi, taubat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, taubat berarti penyesalan atas kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Taubat pada tingkat ini adalah penolakan terhadap segala sesuatu yang dapat memalingkan dari jalan Allah.[2]
Taubat agaknya diakui secara umum dalam pembahasan tasawuf sebagai maqam pertama yang harus dilalui dan dijalani oleh seorang salik. Dikatakan, Allah tidak mendekati sebelum bertaubat. Karena dengan taubat, jiwa seorang salik bersih dari dosa. Tuhan dapat didekati dengan jiwa yang suci.
Menurut Dzun Nun al-Mishri, taubat dibedakan atas dua macam, yaitu taubat awamdan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain ia mengatakan dosa bagi al-muqarrabin (orang yang dekat kepada Allah) merupakan kebaikan bagi al-abrar. Pandangan ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa taubat ialah "engkau melupakan dosamu".[3]
Perkataan Al-Junaid mengandung arti bahwa kemanisan tindakan semacam itu sepenuhnya menjauh dari hati, sehingga di dalam kesadaran tidak ada lagi jejaknya, sampai orang itu merasa seakan-akan dia tidak pernah mengetahuinya. Ruwaim berkata: "Arti taubat adalah bahwa engkau harus bertaubat atas taubat itu." Arti ini mirip dengan yang dikatakan oleh Rabi'ah: "Aku memohon ampun kepada Tuhan karena ketidak-tulusan dalam berbicara; aku mohon ampun kepada Tuhan." Al-Husain al-Maghazili, ketika ditanya mengenai taubat, berkata: "Apakah yang engkau tanyakan, mengenai taubat peralihan, atau taubat tanggapan?" Yang lain berkata: "Apakah arti taubat peralihan itu?" Ruwaim menjawab: "Bahwa engkau harus takut kepada Tuhan karena kekuasaan-Nya atas dirimu." Yang lain bertanya: "Dan apakah taubat tanggapan itu?" Ruwaim menyahut: "Bahwa engkau harus malu kepada Tuhan karena Dia ada di dekatmu."[4]
Dzu'1-Nun Al-Mishri berkata: "Taubat orang awam adalah taubat dari dosanya; taubat orang terpilih adalah taubat dari kekhilafannya; taubat para nabi adalah taubat dari kesadaran mereka akan ketidakmampuan mencapai apa yang telah dicapai orang lain." Al-Nuri berkata: "Taubat berarti bahwa engkau harus berpaling dari segala sesuatu kecuali Tuhan." Ibrahim al-Daqqaq berkata: "Taubat berarti bahwa engkau harus menghadap Tuhan tanpa berbalik lagi, bahkan jika sebelumnya engkau telah berbalik dari Tuhan tanpa menghadap kembali.[5]
Pada tahap ini, orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju pada kebesaran Tuhan dan zikir yang berkesinambungan. Lebih lanjut, Dzun Nun Al-Mishri membedakan taubat atas tiga tingkatan, yaitu:
- Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukannya.
- Orang yang bertaubat dari kelalaian dan kealfaan mengingat Allah.
- Orang yang bertaubat karena memandang kebaikan dan ketaatannya.[6]
Perkembangan pemikiran itu boleh juga merupakan salah satu refleksi dari proses pencairan hakikat oleh seorang sufi yang mengalami tahapan secara gradual. Bagi golongan khawas atau orang yang telah jadi sufi, yang dipandang dosa adalah ghaflah (terlena mengingat Tuhan). Ghaflah itulah dosa yang mematikan. Ghaflah adalah sumber munculnya segala dosa. Dengan demikian taubat merupakan pangkal tolak peralihan dari hidup lama (ghaflah) ke kehidupan baru secara sufi. Yakni hidup selalu ingat pada Tuhan sepanjang masa, Taubat berarti mengalami mati di dalam hidup (Jawa: mati sajroning urip). Yakni suatu proses peralihan dengan mematikan cara hidup lama yang ghaflah, dan membina cara hidup baru, hidup sufi yang selalu ingat dan rasa dekat pada Tuhan dalam segala keadaan.
Dalam kalangan ahli tarekat proses peralihan atau taubat ini dijalankan dengan upacara inisiasi atau baiat. Pada upacara ini para calon sufi dimandikan dan diberi pakaian seperti halnya mayat dikafani. Yakni simbol taubat atau mematikan cara hidup lama dan beralih ke kehidupan tarekat. Karena taubat menurut sufi terutama taubat dari ghaflah, maka kesempurnaan taubat menurut ajaran tasawuf adalah apabila telah tercapai maqam (التوية من توبته) Yakni mentaubati terhadap kesadaran keberadaan dirinya dan kesadaran akan taubatnya itu sendiri.[7]
[1] Abul al-Wafa' Al-Ghanimi Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad Rofi Utsmani, Bandung: Balai Pustaka, 1985, hlm. 35
[2] Al-Ghazali, Ihya 'Ulum Ad-Din, Juz IV, Mesir: Masyhad al-Husaini, t.th, hlm. 10-11
[3] M. Solihin, Tashawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tashawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003, hlm. 18
[4] Kalabadzi, Ajaran Kaum Sufi, Terj. Rahman Astuti, Bandung: Mizan Anggota Ikapi, 1990, hlm. 114
[5] Ibid.
[6] M. Sholihin, Op. Cit, hlm. 18
[7] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 52-53
0 komentar:
Posting Komentar