سَوَابِقُ الهِمَمِ لاَ تَخْرِقُ أسْوَارَ الأقْدَار
Sawabiq al-himam la takhriqu aswar al-aqdar.
Terjemahannya: Kehendak kuatmu yang sudah engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan bisa melubangkan atau menembus tembok-tembok kepastian (taqdir) yang sudah ditentukan Tuhan.
Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus/mistik.
Pengertian awam. Masalah takdir, kita tahu, adalah masalah yang pelik. Orang modern biasanya mengidap semacam “sindrom mental” yang ingin saya sebut sebagai “promethean syndrome”. Promethues adalah tokoh dalam dongeng Yunani yang menggambarkan sosok yang percaya pada kemampuan diri sendiri, kehendak bebas, untuk mengubah sesuatu.
Dengan perkembangan sains dan teknologi yang luar biasa dahsyat, manusia merasa bisa melakukan apa saja. Dia merasa dirinya sebagai “the creator of his/her own destiny”. Dia bisa menjadi pencipta takdir dan nasibnya sendiri.
Pengertian modern yang promethean semacam ini tidak seluruhnya salah. Tetapi agama punya perspektif yang berbeda. Mari kita dengarkan perspektif “tradisional” agama seperti diungkap dengan indah dalam aforisme (kata mutiara) Ibn Athaillah ini. Kata dia: Ketetapan hatimu untuk mengubah sesuatu tetap tak akan bisa mengubah takdir.
Pernyataan ini seolah-olah berbau fatalistis, menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan. Benarkah? Ternyata tidak. Percaya kepada takdir tidak menafikan pentingnya dimensi usaha pada manusia. Sebagai subyek yang bisa bertindak, manusia tentu harus memiliki kehendak untuk berbuat dan mengubah sesuatu.
Tetapi usaha seseorang biasanya bertabrakan dengan, kalau memakai bahasa sekarang, “externalities”, kondisi-kondisi di luar yang tak sepenuhnya ada di dalam kontrol kita. Contoh terbaik: Pemerintah kita berusaha keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar tercipta lapangan kerja bagi rakyat. Ini namanya ikhtiar.
Tetapi ada kondisi eksternal, seperti situasi ekonomi global, yang tak sepenuhnya ada pada kontrol pemerintah. Keadaan domestik memang relatif bisa dikontrol oleh pemerintah; tetapi situasi global, jelas tidak. Sebab, itu masuk dalam kawasan “externalities”, kondisi luaran. Itulah, kira-kira, takdir.
Sekeras apapun kita berusaha, tetap ada kondisi luaran, atau kondisi yang “given”, terberi, sudah ada sejak awal, yang tidak bisa kita kendalikan sepenuhnya. Karena itu, Anda harus rendah hati, realistis, tidak bertindak membabi-buta, super-optimist. Kita harus optimis, tetapi tetap dalam kerangka “precautious optimism.” Optimisme yang hati-hati. Bukan optimisme yang kebablasan.
Pengertian khusus/mistik. Pengertian mistik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini justru berbeda dengan pengertian awam di atas. Apa yang dimaksudkan dengan pernyataan Ibn Ataillah ini ialah bahwa kehendak seorang yang telah sampai kepada maqam ma’rifat (memahami inti wujud/ketuhanan) akan bersesuaian dan beriringan dengan kehendak Tuhan.
Kehendak sang wali, katakan saja begitu, tidak bisa mendahului kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring dengan yang terakhir itu.
Dengan bahasa yang sederhana: seseorang yang sudah sampai kepada inti realitas, memahami makna wujud di dunia ini, dia akan mengerti gerak-gerik alam, tanda-tanda zaman. Dan dia bisa menyeiringkan kehendak dirinya dengan kehendak alam itu. Tidak mendahuluinya, dan tidak teledor, keteter karena terlambat mengejarnya.
Maulana al-‘Arabi, guru dari guru sufi Maroko yang mengarang komentar atas al-Hikam, yaitu Ibn ‘Ajibah (w. 1808 M), berkata: Jika seseorang yang telah mencapai maqam fana’ (lebur) dalam nama-nama diri Tuhan memiliki kehendak yang kuat terhadap sesuatu, maka sesuatu itu akan terjadi. Sementara orang yang telah mencapai fana’ (lebur) dalam dzat atau diri Tuhan, sebelum ia menghendaki sesuatu, sesuatu itu sudah langsung ada. Orang Jawa bilang: “weruh sakdurunge winarah”, tahu sebelum tahu.
Dengan bahasa yang sederhana, seorang yang arif, bijak, mencapai pengetahuan tentang inti wujud dan ketuhanan, ia bisa mengubah sesuatu dengan kehendaknya. Ia bisa menggerakkan benda-benda di sekelilingnya, seolah-olah benda itu adalah “hamba” yang bisa ia kendalikan dengan kehendaknya sendiri.
Tetapi itu semua terjadi karena kehendak Tuhan, bukan kehendak dia. Kehendak sang arif itu tidak berjalan sendiri, melampaui kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring.
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Jika Aku (Tuhan) telah menjadikan seorang hamba menjadi kekasihKu, maka Aku akan menjadi telinga, mata, tangan dan pendukungnya; apapun yang ia minta, Aku akan memberikan kepadanya.”
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?
Seorang hamba harus berusaha sekeras mungkin untuk bisa mencapai maqam ma’rifat, mengetahui hukum dan inti sesuatu. Orang yang mencapai tahap pengertian ini, akan bisa mengerti kehendak Tuhan, dan kemudian akan berjalan seiring dengannya.
Dalam bahasa sains, jika Anda mengerti hukum alam, maka Anda sama saja dengan mengerti kehendak Tuhan. Anda bisa bekerja seiring dan berbarengan dengan kehendak Tuhan itu.
Anda bisa mengubah sesuatu, bukan dalam kerangka melawan takdir, tetapi justru memanfaatkan takdir untuk kemaslahatan Anda sendiri.
Kalau mau, Anda bisa mengatakan (seperti kata-kata sahabat Umar): Melawan takdir dengan takdir!
Kesimpulanya adalah:
1. Manusia diwajibkan untuk berikhtiar dalam batas-batas kemampuan dia. Ikhtiar artinya adalah usaha kita untuk menciptakan “takdir” kita sendiri. Sebut saja ini “takdir kecil”.
2. Tetapi, usaha kita tetap tak bisa melanggar “takdir besar” yang sudah dikehendaki oleh Tuhan untuk kita. Contoh sederhana: Kita bisa berikhtiar dengan belajar sekeras mungkin agar naik kelas, meraih titel, dan seterusnya. Itulah yang disebut takdir kecil.
Tetapi usaha atau takdir kecil itu tak bisa melanggar takdir besar yang ditentukan oleh Tuhan untuk kita. Misalnya, kemampuan IQ kita. Ada orang yang memiliki IQ 110 atau 120, atau bahkan 130. Orang itu bisa belajar, berikhtiar sekeras mungkin. Tetapi usaha dia tetap akhirnya dibatasi oleh takdir besar, yaitu ukuran IQ yang ada pada dia sejak lahir.
Semua orang membawa ukuran atau takdir masing-masing sejak lahir. Takdir ini tidak menafikan ikhtiar manusia. Manusia tetap harus ikhtiar. Tetapi ikhtiar dia dibatasi oleh kondisi-kondisi yang sudah ada sejak dia lahir. Kondisi itu biasanya susah diubah, karena sudah bawaan dari “sono-nya”.
Pengetahuan tentang takdir ini jika dipahami dengan tepat bukan membawa kita pada sikap nrimo atau menyerah. Tetapi justru sikap realistis. Kita berusaha, tetapi usaha kita ada batasnya. Tugas kita adalah mengetahui batas-batas kita itu, dan memaksimalkan usaha kita dalam batas-batas yang ada. Sesudah mentok batas, ya sudah, kita berhenti. Tidak “kemrungsung” (gelisah dan ingin lebih) yang membuat diri kita bisa mengalami depresi. Tetapi kita berhenti sesudah kita berusaha maksimal.
Seorang yang mencapai ma’rifat atau pengetahuan tentang realitas atau kenyataan yang sejati, bisa membuat kehendak dirinya seiring dengan kehendak Tuhan. Orang yang seperti ini biasanya bisa membaca tanda-tanda zama; seolah-olah dia mampu membaca takdir Tuhan. Dalam bahasa populer: dia “weruh sak durunge winarah”, tahu sebelum tahu.
0 komentar:
Posting Komentar