SUNNATULLAH, TAQDIR DAN SAINS

Islam adalah agama yang dibangun atas dasar filosofi membaca (qira’ah). Hal ini tampak pada ayat awal yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad, yaitu QS. Al-Alaq:1). Dalam membaca ada dua elemen penting yakni, subjek pembaca dengan objek yang dibaca. Ada sifat intensional dalam membaca.

Kita adalah subjek, karena kita memiliki daya berfikir, yang disebut akal rasio), yang merupakan anugrah Allah, yang menjadi pembeda manusia dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Oleh sebab itu, Islam mendorong penganutnya menggunakan akal untuk membaca. Lalu, apakah objek yang dibaca? Dalam konteks ini, subjek berakal membaca setiap ayat yang diwahyukan Allah, baik ayat quraniyah (wahyu verbal) maupun ayat kauniyah (wahyu natural).

Satu kata kunci, mengapa Islam tidak pernah mengalami perbenturan dengan sains karena Allah menyebut semua wahyu al-Quran sebagai ayat, simbol, yang tidak dimaknai secara literal belaka, tetapi diartikan secara metaforis.

Selanjutnya, al-Quran menyebut bahwa, ayat kauniyah itu adalah kosmos raya dan diri. Apa yang kita cari dari pembacaan terhadap wahyu natural,ayat kauniyah tersebut? Dalam kosmologi Islam, diyakini bahwa, alam tunduk pada ketentuan Allah. Karena itu, dalam arti generiknya, alam adalah muslim, yakni bersikap islam , yaitu berserah, tunduk, dan patuh pada ketentuan Allah. Oleh sebab itu, kita kita menjadi muslim maka sesungguhnya kita sedang menyatukan diri dengan hukum kosmos. Lalu, usaha membaca ayat kauniyah adalah ikhtiar untuk memahami ketentuan Tuhan yang mengatur semesta raya. Tentang ketentuan Allah, Al-Quran mengintrodusir dua istilah: sunnatullah dan taqdirullah.
Pertama, sunnatullah (sesuatu ketentuan yang merupakan “praktik” berulang-ulang dari Allah). Sunnatullah digunakan untuk ketentuan-ketentuan tentang kehidupan sosio-historis manusia. Karena itu, ilmu sosial, misalnya, mencoba mencari struktur tatanan masyarakat, dan hukum-hukum yang mengatur jatuh-bangunnya suatu masyarakat.

Contoh sunnatullah adalah, suatu masyarakat yang mengabaikan keadilan akan hancur, tanpa memperdulikan apakah suatu masyarakat itu beragama atau tidak. (QS. Muhammad: 38).
Karena disebut sunnah (makna harfiyah: kebiasaan), menunjukkan bahwa, hukum-hukum itu tidak memiliki kepastian pada dirinya sendiri. Walaupun begitu, “kebiasaan” itu dijamin Allah sebagai ketentuan yang tidak mengenal perubahan ataupun peralihan, bersifat pasti (QS. Al-Isra: 77, al-Fathir: 43).
Kedua, taqdirullah (“kepastian” dari Allah). Taqdirullah adalah ketentuan Allah yang berlaku untuk alam kebendaan.dengan kata lain, Taqdirullah adalah ketentuan tuhan yang terkait dengan hukum material, fisika. Ilmu alam pada dasarnya merupakan pencarian ketentuan Tuhan yang disebut taqdirullah. Taqdirullah inilah yang disebut dengan hukum alam. Contohnya, perjalanan matahari menurut garis edarnya, yang tidak mungkin bertubrukan dengan bulan. Malam yang tidak akan mendahului siang. (QS. Yasin: 28-30, al-Anbiya: 33).

Dari perspektif keimanan (ajaran agama), sunnatullah dan taqdirullah tidak berdiri sendiri, tetapi ditetapkan oleh Allah. Semuanya adalah hukum Allah. Karena itu, hukumhukum itu dapat disebut juga sebagai “hukum sosial-historis” dan “hukum alam”, dengan catatan: hukum Allah untuk pola lingkungan sosial-historis” dan “ hukum Allah untuk pola lingkungan kebendaan”, tidak dalam arti, hukum-hukum yang berdiri sendiri atau ada dengan sendirinya dalam lingkungan sosial historis dan alam kebendaan. Dalam Islam, pengembangan ilmu pengetahuan atau sains merupakan tanggung jawab keagamaan, semacam pertanggungjawaban rasional kita terhadap iman kepada Allah. Oleh sebab itu, keimanan kepada Tuhan mendasari pemikiran ilmiah. Dan dengan sains, orang beragama menemukan jejak-jejak Tuhan.

Wa Allahu A’lam bi al-shawab



Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

0 komentar:

Posting Komentar