Tingkatan Dzikir

Seorang Syaikh (guru Ruhani) suatu kali mempunyai seorang murid yang ia sayangi lebih dari yang lain, sehingga membangkitkan rasa iri mereka (murid lainya). Suatu hari sang Syaikh memberi masing-masing muridnya seekor unggas dan memerintahkan mereka untuk pergi dan membunuhnya di suatu tempat yang tak ada yang bisa melihat. Sesuai dengan itu, setiap muridnya membunuh unggasnya di tempat yang tersembunyi dan membawanya kembali, kecuali murid Syaikh yang paling disayanginya itu. Ia membawa kembali unggas itu dalam keadaan hidup seraya berkata, "Saya tak bisa menemukan tempat seperti itu, karena Allah selalu melihatku di mana-mana." Sang Syaikh pun berkata kepada muridnya yang lain, "Sekarang kamu tahu tingkatan anak muda ini. Ia telah mencapai tingkat selalu mengingati Allah."

Menurut Imam Ghazali ada dua tingkatan dzikrullah. Pertama adalah tingkatan para wali yang pikiran-pikiran seluruhnya terserap dalam perenungan akan keagungan Allah, dan sama sekali tidak menyisakan lagi di relung hati mereka untuk hal-hal lain. Terhadap zikir seperti inilah Rasulullah Saw. bersabda : “Orang yang bangun pagi hanya dengan Allah di dalam pikirannya, maka Allah akan menjaga di dunia ini maupun di akhirat.”

Dzikir pada peringkat ini adalah dzikirnya orang-orang yang sudah mencapai tingkat istiqamah dan mulazamah (terus menerus) dalam dzikrullah, dan ini hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang menduduki derajat kematangan dan kesempurnaan iman, dimana hatinya senantiasa belum merasa tenang manakala ia tidak mengingat Allah. Sehingga dalam (keadaan apapun) dan semua garak-geriknya baik lahiriah maupun batiniah hati dan jiwa orang itu akan terus terkuasai sebaik-baiknya. Dimanapun dia berada, hal itu tidak menghalanginya untuk berzikir kepada Allah.

Syibli suatu hari pergi mengunjungi sufi Tsauri. Didapatinya Tsauri sedang duduk tafakur sedemikian tenang sehingga tidak satu pun rambut di tubuhnya bergerak. Syibli pun bertanya kepadanya, "Dari siapa anda belajar mempraktekkan ketenangan tafakur seperti itu?" Tsauri menjawab, "Dari seekor kucing yang saya lihat menunggu di depan lobang tikus dengan sikap yang bahkan jauh lebih tenang daripada yang saya lakukan."

Ibnu Hanif meriwayatkan, "Kepada saya (Imam al-Ghozali) diberitakan bahwa di kota Sur seorang syaikh dengan seorang muridnya selalu duduk dan larut di dalam dzikrullah. Saya berangkat ke sana dan mendapati mereka berdua duduk dengan wajah menghadap ke Makkah. Saya mengucapkan salam kepada mereka tiga kali, tapi mereka tidak menjawab. Saya berkata, "Saya meminta dengan sangat, demi Allah, agar anda menjawab salam saya." Yang lebih muda mengangkat kepalanya dan menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, dunia ini hanya ada untuk waktu yang singkat saja. Dan dari waktu yang singkat itu hanya sedikit yang masih tersisa. Anda telah menghalang-halangi kami dengan menuntut agar kami membalas salam anda."

Ia kemudian menundukkan kepalanya kembali dan diam. Saya waktu itu merasa lapar dan haus, tetapi keingintahuan akan kedua orang itu membuat saya seakan lupa diri. Saya bersembahyang 'Ashar dan Maghrib bersama mereka, kemudian meminta mereka memberi nasehat-nasehat ruhaniah. Yang muda menjawab, "Wahai Ibnu Hanif, kami ini orang sengsara, kami tidak memiliki lidah untuk memberikan nasehat."

Saya tetap berdiri di sana tiga hari tiga malam. Tidak satu patah kata pun terlontar dari kami dan tak seorang pun tidur. Kemudian saya berkata dalam hati, "Saya minta mereka dengan sangat, demi Allah, untuk memberi saya beberapa nasehat."

Yang muda mengkasyafkan pikiran saya, kemudian sekali lagi mengangkat kepalanya, "Pergi dan carilah seseorang yang dengan mengunjunginya akan membuat anda mengingati Allah, dan menanamkan rasa takut akan Dia di dalam hati anda, dan yang akan memberi anda nasehat melalui diamnya, bukan lewat ucapanya."
Itu semua adalah dzikir para wali, yaitu berada dalam keaadan terserap keseluruhan dalam perenungan akan Allah.

Adapun peringkat yang kedua yaitu zikir golongan kanan (Ashabul Yakin), yakni orang-orang yang saleh. DZikir mereka belum sampai membawa larut kedalam pikiran tentang keagungan-keagungan Allah, melainkan tetap sadar diri.

Tentang peringkat dua dzikir ini ada satu anekdot dari sufi klasik. Pernah seorang mutasawwif bertanya kepada mursyidnya, seorang guru sufi terkenal, Abu Uthman Al Hiri, “Aku berdzikir dengan lidah, tetapi hatiku sulit bersatu dengan dzikirku” ia menjawab, “Bersyukurlah, bahwa salah satu anggota badanmu menaati dan dibimbing kejalan yang benar. Barangkali hatimu kelak akan ikut juga, kelak akan mendaki ke tingkat yang lebih tinggi.” [1]

Literatur:
[1]Imam Al-Ghazali, Kimia Kebahagiaan,
http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/sufi/gbahagia/dzikir.html]
http://arareaders.com/books/read/17738?reader=1

https://www.facebook.com/cahaya.gusti.



Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

0 komentar:

Posting Komentar