SANAD DAN IJAZAH ILMU

SANAD DAN IJAZAH ILMU
Sebagai kata, sanad bermakna lereng bukit atau sesuatu yang dibuat sandaran. Adapun maknasanad sebagai istilah adalah rentetan mata rantai matan (redaksi suatu informasi/pengetahuan/ilmu) yang terdiri dari beberapa orang yang meriwayatkan yang bersambung-sambung. Pengertian terminologis ini umumnya dimaksudkan dalam disiplin ilmu hadits dan qira’at. Keduanya, hadits dan qira’at, menghubungkan rawi (orang yang meriwayatkan) bagil ilmu hadits dan qari (pembaca Al-Qur’an) bagi ilmu qiraa’at, yang berhulu pada Rasulullah SAW.

Sanad adalah silsilah atau mata rantai yang menyambungkan dan menghubungkan sesuatu yang terkait dan bertumpu kepada sesuatu yang lain. Dalam kacamata tasawuf, sanad keilmuan, amalan dzikir dan ketarekatan adalah bersambungnya ikatan bathin kepada guru-guru dan mursyid.

Jadi, dalam sanad ini, terkandung aspek muwashalah (hubungan dan ketersambungan) satu pihak dengan pihak yang lain, akibat adanya tahammul wa al-ada’ (mengambil dan memberi).

Sistem sanad merupakan salah satu mekanisme pencarian ilmu dan pengetahuan yang sempurna. Karena setiap pengetahuan yang dipindahkan itu dapat dipertanggungjawabkan otensitas dan keabsahannya melalui rantaian periwayatan setiap perawi.

Ketelitian ini dapat dilihat dari kaidah ulama hadits dengan hanya mengambil hadits dari perawi yang tsiqah (dapat dipercaya). Begitu juga dengan kaidah disiplin ilmu qira’at.

Disiplin ilmu sanad dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dalam menjamin keshahihan ilmu yang disampaikan sehingga dianggap sebagai bagian masalah kepentingan agama. Al-Imam Ibnu Sirin (110 H/728 M) mengungkapkan :

“Sesungguhnya ilmu ini (ilmu sanad) termasuk urusan agama. Oleh karena itu, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil ajaran agama kamu”.

Begitupun dengan Imam Abdullah bin Al-Mubarak (181 H/797 M), yang menyatakan urgensi ilmu sanad ini dalam ungkapannya :
“Rangkaian sanad itu merupakan bagian agama. Kalu bukan karena menjaga sanad, pasti siapapun akan dapat semaunya mengatakan apa saja yang dia ingin katakan”.

Ibnu Al-Mubarak juga berkata, “Pelajaran ilmu yang tak punya sanad bagaikan menaiki atap tanpa punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan umat ini dengan sanad.

Bahkan Imam As-Syafi’I mengingatkan, “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar di kegelapan malam. Ia membawa kayu bakar yang diikatnya padahal terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu”.

Ijazah

Adapun Ijazah antara lain diambil dari sebuah ungkapan istajaztuhul ma fa’-ajazani (aku meminta air darinya, lantas dia memberiku air). Ungkapan tersebut memberi sebuah pedoman bagaimana seseorang yang meminta supaya diberikan curahan ilmu, lalu guru itu mencurahkan ilmu yang dia miliki kepada muridnya itu.

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya Itqan fi “Ulum al-Qur’an menjelaskan kronologi terbentuknya istilah ijazah dalam kedisiplinan ilmu.

Menurutnya seorang murid yang ingin menuntut suatu ilmu kepada seorang guru pada awalnya tidak mengetahu penguasaan ilmu yang dikuasai oleh sang guru tersebut. Oleh karena itu, ijazah adalah sebagai bukti pengakuan dan persaksian dari pihak guru bahwa dia adalah seseorang yang mahir dalam bidang tersebut.

Pada perkembangan belajar dan mengajar berikutnya, ijazah juga menjadi suatu tanda keizinan yang diberikan seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan apa yang telah dipelajari dan diambil dari guru tersebut.

Imam An-Nawawi, sebagaimana dinukil As-Su yuthi dalam kitab Tadribur Rawi,mengatakan, langkah tahammul wal ada’ (upaya mengambil suatu sanad pengetahuan dan pemberiannya) disebut ijazah.

Salah satu bentuk ijazah, seorang syaikh (guru) mengatakan kepada muridnya, “Ajaztuka hadza kama ajazani syaikhi”. Artinya, “Aku ijazahkan (ilmu) ini kepadamu, sebagaimana guruku telah mengijazahkan kepadaku”. Itu biasanya berupa cara membaca Al-Qur’an, riwayat-riwayat hadits, kitab-kitab hingga amalan-amalan seperti ratib, wirid dan kumpulan bacaan dzikir lainnya.

Jumhur ulama memperbolehkan tradisi pengijazahan ini. Al-Khatib Al-Baghdadi, dalam kitabnya, Al Kifayah, menyebutkan, sebagian ahli ilmu membolehkan al-ijazah dengan dasar sebuah hadits bahwa Rasulullah Shallahu “Alaihi Wasallam pernah menulis surat Al-Bara’ah (At-Tawbah) dalam sebuah lembaran lalu menyerahkannya kepada sahabat Abu Bakar RA, kemudian beliau menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib RA untuk mengambilnya dari sahabat Abu Bakar, tanpa membacanya terlebih dahulu kepada beliau, hingga sampai di Makkah, kemudian membuka dan membacanya dihadapan para sahabat.

Ijazah merupakan sebuah tradisi ilmiah yang mengakar kuat dan membudaya di kalangan umat islam, baik terdahulu maupun kini, khususnya dikalangan penuntut ilmu.

Pada bidang keilmuan tertentu, ijazah ini sangat selektif, seperti Al-Qur’an dan hadits, serta amalan khusus dikalangan sufi (tarekat).

Bukan tanpa sebab mengapa perlu syarat-syarat yang cukup ketat. Bagi Al-Qur’an dan hadits tentunya syarat-syarat sanad yang menentukan. Sedangkan amaliah tarekat, ini berkaitan dengan amanah dan kepercayaan seorang guru kepada muridnya.

Pemberian Ijazah menurut Habib MUNZIR ALMUSAWA

Ijazah adalah izin, sebagaimana adabnya seorang murid tidak mencuri buku gurunya sebelum diperbolehkan dan diizinkan, maka itu disebut ijazah, misalnya gurunya membuat sebuah doa, maka doa itu akan lebih afdhal jika yg membacanya sdh terlebih dulu mendapat izin dari pembuatnya.

jika pembuat doa telah wafat, maka izin /ijazah diminta pada murid almarhum yg sudah diizinkan gurunya (sudah mendapat ijazah dar gurunya). atau jika muridnya telah wafat maka murid dari muridnya, dst

hal ini sekedar ikatan ruh kita dg pembuat doa, termasuk pula sunnah Nabi saw, kita mengambil ijazahnya atas perbuatan beliau saw, maka kita tidak mencuri ilmu, namun sudah mendapat izin dan ada hubungan ruh kepada ujung rantainya.

namun kebanyakan para shalihin dan lebih lagi sunnah nabi saw tidak perlu pakai ijazah, karena mereka sudah mengizinkan siapapun melakukannya/mengamalkannya, namun tentunya dg ijazah lebih afdhal.

saya mempermudah ijazah karena tidak berani mempersulitnya, bagaimana orang ingin dekat pada Allah dan para shalihin lalu saya mempersulitnya?, apalagi minta uang bayaran, tidak ada hak minta uang bayaran karena doa itu bukan miliknya, dan doa bukanlah layaknya hal yg diperjual belikan,

saya diajari guru mulia kita demikian, untuk tidak kikir terhadap ijazah, karena dengan menyambungkan hubungan ruh dari ummat ini kepada para shalihin, para ulama dan Nabi saw maka itu adalah pahala besar, dan merupakan dosa besar bagi mereka yg mempersulitnya.

Ijazah adalah hubungan sanad, yaitu hubungan hati dengan Rasul saw atau para ulama yg membuat suatu doa.

misalnya Imam Nawawi membuat doa, maka boleh saja siapapun membacanya, namun tentu akan lebih afdhal jika yg membaca itu punya hubungan dengan Imam Nawawi, ia dikenal oleh Imam Nawawi, maka itu yg disebut sanad, jika Imam Nawawi sudah wafat, maka bagaimana caranya mendapat keberkahan doa imam nawawi ini..?. maka kita izin pada muridnya, karena muridnya inilah yg punya hubungan dengan imam nawawi,

jika tak ada muridnya maka murid dari muridnya, nah.. izin dan restu ini disebut ijazah, dan demikian sampai kini kita boleh saja mengamalkan semua doa, namun alangkah baiknya jika minta restu dulu pada orang yg punya hubungan dengan pembuat doa tsb, maka minta restu ini disebut ijazah.

Alqur'an dan sunnah tidak perlu minta restu lagi karena sudah perintah Allah dan Rasul saw pada kita, namun tentunya jika ada restu dari orang yg punya ijazah pula sampai bersambung pada Rasul saw, maka afdhal.

Adab Pemberian Ijazah

Ijazah merupakan suatu tindakan yang sudah sangat umum bagi sebagian besar pencinta dan pelaku spiritual dari berbagai kalangan, khususnya bagi para spiritualis dari kaum Muslim. Baik ketika ingin menerima suatu amalan Hizib, Asma’, Isim dan berbagai amalan spiritual lainnya pasti seseorang akan meminta terlebih dahulu Ijazah akan ilmu spiritual tersebut kepada ahlinya. Namun, hingga kini masih banyak para spiritualis yang masih bertanya – tanya di dalam hati mereka. Kenapa suatu ilmu spiritual mesti memiliki Ijazah yang jelas ? Siapa saja yang bisa memberikan Ijazah suatu amalan dan ilmu ? Bagaimanakah adab dan tatakrama di dalam memberi dan menerima Ijazah ? Dan berbagai pertanyaan lainnya seputar Ijazah.

Secara garis besar, Ijazah adalah suatu tindakan berisyaratpemberian hak / izin suatu amalan dan ilmu spiritual dari
seorang yang ahli (Guru) kepada seorang Murid. Sedangkan secara khusus pengertian Ijazah adalah pemberian hak suatu amalan dan penanaman benih suatu ilmu dari ruh seorang Guru ke dalam ruh seorang Murid tanpa terikat di dalam suatu tindakan kewajiban dan khidmat.

Menurut beberapa ulama dari kaum sufi, hukum Ijazah dalam

suatu amalan dan ilmu adalah wajib. Karena setiap ilmu dan amalan apa pun tidak boleh dipelajari tanpa adanya bimbingan seorang guru yang ahli dalam bidang tersebut. Apalagi pembelajaran ilmu spiritual pastilah berhubungan erat dengan suatu perkaran yang bersifat ghaib. Sehingga sangat riskan dari berbagai godaan dan tipu daya setan. Apalagi setan sangat ahli dalam meniru wajah dan rupa para malaikat, para Wali Allah, para ulama dan para orang – orang sholeh, kecuali rupa Rasulullaah Muhammad S.A.W.

Seperti kisah Abu Nahar yang mengamalkan berbagai amalan dan wirid – wirid dari berbagai Kitab ilmu tanpa adanya Ijazah dari seorang guru yang masih hidup. Setelah mengamalkan lebih dari 20 tahun, selama itu pula ia sering mengalami berbagai peristiwa ghaib yang menurutnya adalah benar. Seperti selalu dijaga 7 malaikat penjaga suatu Asma’, mendapat bimbingan khusus secara ghaib dari seorang ruh Wali Allah, bertemu dengan khodam penjaga Surat Al – Fatihah dan Al – Ikhlas dan berbagai pengalaman ghaib lainnya.

Suatu hari ketika berdagang ke Irak, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Ahlul Wilayah Irak saat itu Syaikh Aqil Al – Munbaji R.A. Syaikh Aqil Al – Munbaji pun memanggilnya dan berkata kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apakah yang engkau amalkan selama 20 tahun ini ?”
Abu Nahar menjawab, “Yang aku amalkan hanyalah Al – Fatihah dan Al – Ikhlas beserta doanya dan apa yang terdapat di dalam Kitab Nuuan.” Syaikh Aqil pun menengadahkan kepalanya ke arah langit dan berkata : “Janganlah sekali – kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sesungguhnya ia dan pe ngikut- pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka (Q.S. Al –A’raf : 27).” Seketika itu pula ia (Abu Nahar) terjatuh tak sadarkan diri ditanah, lalu Syaikh Aqil mengusap wajahnya,memukul dadanya dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh orang – orang sekitarnya dan lalu pergi meninggalkannya. Ketika kembali sadar, beberapa orang menghampi rinya dan bertanya kepadanya, “Wahai Abu Nahar, apa yang dilakukan oleh Syaikh Aqil tadi untuk mu ?” Abu Nahar pun menjawab, “Ketika ia (Syaikh Aqil) menatap langit,sesungguhnya aku melihat para malaikat turun membawa Nur (cahaya). Lalu Syaikh Aqil mengambilnya dan memasukkannya ke dalam pikiranku. Maka terlihatlah olehku apa yang ada di ujung barat hingga ujung timur. Lalu ia memukul keluar apa yang setan tanam di dalam hatiku dan menggantinya dengan benih – benih Mahabbah. Kemudian Syaikh Aqil berkata kepadaku, “Wahai Abu Nahar, janganlah engkau mencari cinta – Nya dengan ada tujuan maksud, karena setiap langkah nafsu pasti diikuti oleh setan. Sesungguhnya batas perbedaan antara yang haq dan yang batil adalah segaris benang tipis, dan apa yang engkau peroleh selama ini adalah sesuatu yang batil. Dan janganlah mempelajari sesuatu amalan tanpa adanya perhatian (bimbingan) dari seorang Guru. Dari kisah di atas kita dapat mengambil pelajaran betapa besarnya sosok seorang guru dan Ijazahnya di dalam mengamalkan suatu ilmu spiritual.
Tanpa bimbingan dari seorang guru, maka sangat riskan bagi seseorang yang mengamalkan suatu ilmu spiritual dari godaan tipu daya setan yang ingin menyesatkan hatinya. Selain itu menurut Syaikh Abu Thalib Al – Makki R.A, setiap ilmu spiritual pastilah mempunyai kedudukannya sendiri di sisi Allah S.W.T. Maka untuk bisa menguasai ilmu spiritual itu secara sempurna, dibutuhkan bantuan seorang yang sudah sampai derajat maqamnya pada ilmu tersebut. jika ditelaah, maka sudah sangat  anyak para pecinta spiritual saat ini yang hanya menerima sebuah Ijazah kosong tanpa makna..Karena pengijazahannya tidak sesuai dengan tata laku pemberian dan penerimaan Ijazah yang benar menurut hukumnya dan juga tak sedikit dari mereka tahu akan jenis serta kedudukan Ijazah yang diberikannya. Inilah salah satu penyebab terbesar kegagalanpara pecinta spiritual saat ini di dalam mengamalkan dan mendalami suatu ilmu spiritual yang telah diterimanya dari seorang pelaku spiritual yang masih awam

Dalam adab pemberian dan penerimaan suatu Ijazah, hampir sebagian besar kaum sufi sepakat bahwa sebaik – baik emberian suatu Ijazah paling tidak walau tidak harus mirip,didahului dengan sholat sunnah 2 raka’at antara si guru dan simurid. Kemudian dilanjutkan oleh si guru dengan pengucapakan 2 kalimat Syahadat, Sholawat Nabi, Istighfar, Surat Al – Fatihah, Isi Ijazah, Sholawat Nabi Khusus dan ditutup dengan kalimat Tahlil dan Takbir beberapa kali. Sebaik – baik Isi Ijazah adalah dengan menyertai nama dan nama ayah si penerima Ijazah didalam awal pengucapannya. Selanjutnya adalah tugas simurid penerima Ijazah untuk menjawab / membalas penyampaian Ijazah dari si guru dengan mengucapkan Tahmid dan kalimat Tanda Terima,dilanjutkan dengan Sujud Syukur dan ditutup dengan Doa Khusus bersama si guru pemberi Ijazah. Akan lebih baik lagi jika setelah itu si murid menutup semuanya dengan sholat sunnah 2 raka’at sebagai tanda syukurnya telah diberi Ijazah suatu ilmu dan amalan spiritual.semoga bermanfaat untuk kita agar hati hati krn begitu byk bertebaran ijazah diluar yg tanpa dibimbing.dalam laku ilmu jaga hati dan hilangkan nafsu isi dgn mahabah.wasalam.



Silahkan Tinggalkan Komentar Anda :

0 komentar:

Posting Komentar